Life Begin
Banyak orang yang bilang, "hidup baru dimulai setelah kita keluar dari zona nyaman kita." Awalnya aku mengelak, bukannya walaupun di zona nyaman, kita tetap bernafas, bergerak, layaknya orang hidup? Memang begitu adanya, tapi aku pun merasa jika kita di rumah dan tidak banyak melakukan aktivitas rasanya seperti raga ini hidup saja, bernafas saja, bergerak saja, tapi kosong layaknya mayat hidup. Dan memang, zona nyaman bukanlah tempat yang cocok untuk belajar dan improvisasi bakat. Zona nyaman adalah tempat istirahat, bukan tempat untuk hidup sehari-hari.
Mungkin karena alasan itu juga mamaku selalu menginginkan agar aku tetap di asrama. Asrama, limitnya siswa. Batasan, peraturan, manajemen waktu, dan kebutuhan yang membayang setiap hari dan mengikat tanpa henti, adalah jiwa dan ciri khas asrama. Asrama menjadi limit kami untuk 'bebas'. Bebas dalam artian lepas dari peraturan. Dalam hal ini, orangtua sangat terbantu agar mereka tidak usah repot mengurusi anaknya. Karena dengan peraturan, semua bisa diatur.
.
.
.
Ani bangun dari tidurnya, essaynya tentang asrama dan zona nyaman atau entah apalah itu baru sampai setengah halaman. Dia sudah lelah dan kemudian bangun dikagetkan oleh suara cempreng dari kamar sebelah. Ani segera menghampiri sumber suara dengan langkah berat. "Aahh!!" orang itu kembali berteriak. Setelah sadar 100% Ani langsung berlari. "Ada apa?!" "A.. Ani!"
Orang itu jelas kesakitan, tubuhnya lemas dan kakinya berdarah sepertinya tertusuk.
"Ani tolong.. Kakiku kena jarum pentul." Ternyata darahnya tidak begitu banyak.
Ani memutar bola matanya. Anak manja ini!
Ani memang masih murid baru, tapi temannya sudah sangat banyak. Ia sudah mengelilingi semua kamar di asrama dan semua orang menyambutnya, senang padanya. Di saat anak-anak sedang menangis, Ani tertawa-tawa dan menghibur mereka. Senang rasanya, disenangi dan membuat orang senang.
"Buk!" Ada batu bata melayang dari jarak dua meter, mengenai belakang kepala Ani. Tidak besar hanya sekepalan tangan. Tapi sakit...sungguh. Darah mengalir dari belakang kepala Ani. Dia menoleh kebelakang, ada batu melayang lagi, mengenai jidat Ani. Ani jatuh menerawang langit-langit dan menyadari satu hal.
Essay yang dia tulis benar.
Hidupnya baru dimulai.
Komentar
Posting Komentar